Senin, 02 Januari 2012

DIVISI RONGGOLAWE



Setelah Yogyakarta diduduki oleh Militer Belanda pada 19 Desember 1948, pimpinan TNI memindahkan MBKD (Markas Besar Komando Djawa) keluar kota, dan system Wehrkreis dilaksanakan. Wehrkreis adalah bahasa Jerman dan merupakan siasat perang Gerilya dimana tidak ada front yang tetap. Kabupaten Wonosobo pada garis besarnya menjadi Sub-Wehrkreis atau SWKS W yang ditempati oleh pasukan T-Ronggolawe. T berarti “Tjadangan” atau Reserve. Ronggolawe nama divisi IV TNI di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Djenderal Major Djatikusumo.

Pasukan T-Ronggolawe adalah pasukan TNI yang terdiri dari para pelajar Sekolah menengah Atas (SMA), berusia 20 – 21 tahun, duduk di kelas 3, hampir semua menjadi perwira cadangan berpangkat sama dengan Vaandrig yang telah mempunyai pengalaman tentara selama 4 tahun. Anggota Pasukan T- Ronggolawe mempunyai pengalaman tempur melawan tentara Jepang di Semarang –Pertempuran Lima Hari, 15-20 Oktober 1945- juga melawan tentara Inggris di Ambarawa, dimana terdapat Kamp Interniran Belanda. Kemudian oleh Djatikusumo mereka ditarik untuk dilatih dalam “Pasoekan Opsir Tjadangan”.

Keputusan mengadakan Sekolah Opsir Tjadangan di dasarkan atas prakarsa Djenderal Major Djatikusumo, untuk membentuk satu korps opsir (perwira) cadangan, yang anggotanya dibentuk dari guru-guru dan pelajar pejuang yang kebetulan sudah berada dalam jajaran komandonya. Gagasan ini timbul setelah melihat kenyataan ketika pertempuran-pertempuran di front Ambarawa dan Semarang, banyak anak pelajar yang gugur. Beliau berpendapat bahwa sangat di sayangkan para pelajar yang memiliki kemampuan yang potensial dan merupakan harapan bangsa yang baru memproklamasikan kemerdekaannya ini, banyak menjadi korban dalam pertempuran karena hanya berbekal semangat berjuang besar tidak memiliki pengetahuan strategi pertempuran.

Pada perundingan Perdana Menteri Sutan Syahrir dengan utusan khusus Inggris, Lord Killearn, awal 1946 di Jakarta, disepakati Republik Indonesia c,q. Tentara Republik Indonesia dilibatkan dalam hal pengurusan tawanan perang dan interniran. Maka sejak itu sekutu tidak akan begitu saja masuk ke wilayah RI dan mengambil langsung tawanan perang dan interniran yang berada dalam daerah kedaulatan RI. Dengan adanya pengaturan ini maka sekutu (Inggris) telah mengakui secara de facto kedaulatan RI dan keberadaan Tentara Republik Indonesia. Pelajar Sekolah Opsir Tjadangan ditugaskan membantu RAPWI (Relief/Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) mengangkut kaum perempuan dan anak-anak Belanda dari Kamp Interniran di Banyubiru ke Lapangan Terbang Panasan di Solo untuk seterusnya di terbangkan ke Semarang. Tugas ini membawa dampak yang baik bagi Negara Republik Indonesia yang baru berdiri ini. Memperlihatkan kepada dunia luar bahwa Tentara RI adalah tentara yang teratur dan memiliki prajurit-prajurit yang berdisiplin dan berkemampuan komunikasi dalam bahasa asing. Belanda yang membonceng NICA tidak setuju pengangkutan interniran yang di kawal Tentara RI langsung dari Banyubiru ke Semarang karena harus melalui front yang sudah mulai di duduki Belanda. Maka routenya dari Banyubiru ke Panasan Solo kemudian dengan pesawat terbang Inggris di bawa ke Semarang atau Jakarta.
Satu Kompi Pasukan T (Tjadangan), memiliki kekhususan karena terdiri dari para pelajar berpangkat perwira pertama (hak / kewajiban sbg tentara & biaya pendidikan sekolah ditanggung oleh negara) dan penggunaannya tidak pernah dalam hubungan satuan, tetapi penugasannya secara kelompok atau perorangan dgn tugas2 seperti:
a/ Combat Intelligence dengan mengadakan penyusupan ke daerah-daerah musuh, b/ Counter Combat Intelligence yaitu mengamati mata-mata musuh di Wilayah Divisi V Ronggolawe, c/Pembinaan Teritorial dan persiapan perlawanan dan pertahanan rakyat, e/Persiapan Bumi Hangus, d/ Sebagai Pasukan Tempur Biasa, e/Tugas Liason Officer, antara lain, mendampingi perwira peninjau utusan Jenderal Mac Arthur Panglima USA dalam PD II di Pacific bermarkas di Tokyo, yang meninjau untuk melihat kekuatan TNI dan membuktikan bahwa Tentara Nasional Republik Indonesia di dukung oleh rakyat. Utusan Jenderal Mac Arthur Kolonel Meyers memberi keyakinan dan kepastian bahwa adanya Republik Indonesia di kehendaki dan di dukung oleh seluruh rakyatnya. Setelah itu Amerika mulai mendukung Republik Indonesia terutama di forum PBB. Peranan Inggris (yang membela Belanda) di UNCI (United Nation Commission for Indonesia) juga beralih ketangan Amerika. 


Pada tahun 1947 pangkat Panglima Divisi diturunkan dari Djenderal Major menjadi Kolonel termasuk Djatikusumo. Pada waktu itu tidak ada pangkat Brigadir Jenderal. Divisi IV menjadi Divisi V Ronggolawe. Kemudian tahun 1948 Kolonel GPH Djatikusumo diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Maka Pasukan T mulai saat itu secara organik langsung berada di bawah Komando KSAD dan resmi dinamakan Pasukan T SAD (Pasukan Tjadangan Staf Angkatan Darat). Semua kesatuan tentara pelajar di gabungkan ke dalam Brigade XVII/TP kecuali Pasukan T. Hal ini adalah karena kebijakan Kolonel GPH Djatikusumo sendiri yang selalu mengikuti dan mengawasi sendiri perkembangan para perwira cadangan yang beliau bentuk dalam Sekolah Opsir Tjadangan di Salatiga dan di lanjutkan pembinaannya di Cepu selama bertugas di Divisi Ronggolawe. Beliau memahami bahwa para pelajar itu sebagian besar tidak akan memililih berkarier sebagai tentara, namun mereka tetap bertekad besar turut dalam perjuangan fisik bangsanya, sementara tenaganya sangat di perlukan dalam tugas-tugas operasional maupun teritorial. Setiap ada kesempatan untuk belajar, mereka diberikan kesempatan untuk meneruskan pendidikan, bahkan diperintahkan untuk sekolah, tetapi pada saat diperlukan, mereka di panggil kembali (Pendidikan yang diselingi penugasan tempur).


Menjelang tahun 1949 Pasukan T tinggal di daerah sumbing berfungsi sebagai Pasukan Pelindung menghadapi jalur yang menghadapi kota Magelang. Disini Pasukan T diperintahkan menyerang Markas Belanda yang berada di kota Magelang. Kehidupan Tentara Pelajar tidak mudah, digunung Sumbing yang suhunya dingin mereka kerap tidur dikandang kerbau yang agak hangat. Makanan mereka disiapkan oleh dapur umum. Didaerah yang tidak ada beras mereka makan jagung. Di sebuah desa tempat mereka berhenti, berhari-hari lamanya tak ada garam, ayam atau kambing, tapi karena lapar, apa saja makanan yang disuguhkan terasa enak. Kemudian Pasukan T bepindah-pindah tempat melakukan penghadangan terhadap konvoi Belanda dan melakukan penyerangan Markas Belanda di sekitar Wonosobo.

Pasukan T-Rongggolawe berjuang terus sampai akhirnya tiba saat diberlakukan gencatan senjata antara Tentara Belanda dengan TNI. 9 Agustus 1949 jam 24:00 genjatan senjata mulai di berlakukan. Pasukan T ditunjuk sebagai perwira penghubung dengan pihak belanda di Wonosobo untuk mempersiapkan perundingan karena anggotanya menguasai bahasa belanda dan mengenal daerahnya.Tugas sebagai Perwira Penghubung tidak mudah karena tanpa alat Komunikasi. Dalam perundingan di Wonosobo Pihak Republik Indonesia di wakili oleh Letkol Sarbini Komandan Sub Teritorial Commando. Untuk menemukan Letkol Sarbini dalam dua hari adalah mission impossible tanpa radio. Namun pada saat seperti itu sistem WEHRKRIES menunjukan keandalannya. Letkol Sarbini dan staf hadir di tempat perundingan tepat pada waktunya.

Kemudian Jenderal GPH Djatikusumo dari Yogyakarta menginstuksikan agar anggota Pasukan T eks SOT (Sekolah Opsir Tjadangan) bergabung kembali ke unit Angkatan Darat, sedangkan mereka yang berasal dari pelajar non SOT di salurkan ke staf Brigade XVII. Pasukan T kemudian berangkat ke Yogya, disana para anggota eks SOT di perintahkan untuk menyelesaikan pendidikan perwira di Akademi Militer dan pindah ke Beteng, anggota lainnya di tugaskan sebagai staf dekking pada staf Brigade XVII, diterima oleh Komandan Brigade XVII Letkol Kusno Utomo, di tempatkan di Asrama Gondokusumo No. 2, diposisikan di seksi V atau Verkenner yang artinya Pengintai. Ada pula anggota Pasukan T yang meneruskan sekolah dan kariernya di bidang sipil.

Sekelumit kisah perjuangan Tentara Pelajar yang tergabung dalam T-Ronggolawe dapat dibaca dalam buku berjudul “Met de TNI op stap – De laatste patrouille van het vergeten leger” (Dengan TNI melangkah – Patroli terkahir tentara yang dilupakan), karangan Anton P. De Graaf, terbitan 1991.

Pada 1949, Penulis Anton P. De Graaf berperan juga sebagai Wajib Militer Belanda yang dikirim ke Indonesia dan berhadapan dengan TNI di Jawa Tengah. Ketika itu pemerintah Belanda mengirimkan tentara sebanyak 125.000 personel dengan persenjataan lengkap dan mutakhir untuk menghancurkan republic Indonesia. Tapi sia-sia, tidak berhasil. Kurang lebih 2.500 serdadu Belanda tewas (Yang ditinggalkan di Indonesia), tapi sang Penulis selamat pulang ke Belanda dengan mengenang trauma perang yang mengerikan.

Sumber :
1. Petite historie Indonesia (karya Rosihan Anwar, terbitan 2005); 2. Met de TNI op stap – De laatste patrouille van het vergeten leger” (Anton P. De Graaf, terbitan 1991); 3. Hoort Gij die donder niet (Dr. Daniel Van Der Moullen, terbitan 1977)

1 komentar:

  1. http://myyangkasabola.blogspot.com/2017/07/blog-post_34.html
    http://angkasabolaaa.blogspot.com/2017/07/blog-post_12.html
    http://mynewgooger.blogspot.com/2017/07/blog-post_12.html


    Situs judi online terbesar dan terpecaya se asia
    angkasabola
    hanya dengan 1 user id saja sudah bisa bermain semua games
    seperti

    1. Sportbook
    2. Togel
    3. Tangkas
    4. Keno
    5. Slot
    6. Togel
    7. Gd88
    8. 855Crown

    Keunggulan angkasabola

    1. Langsung dilayani oleh cs kami yang cantik dan ramah
    2. Hanya dengan 1 user id sudah bisa bermain semua games
    3. Proses depo & Wd cepat tidak sampai 1 menit



    1. Bonus refferal 2,5%
    2. Bonus Rollingan casino 0,8%
    3. Bonus cashback 5%


    Join now :

    Bbm : 7b3812f6

    BalasHapus